HUBUNGAN TASAWUF DENGAN MORAL
Disusun Oleh : Yunisa Afiani
PENDAHULUAN
Berbicara tentang tasawuf sering timbul pertanyaan,
benarkah bahwa hidup secara sufi berarti “ Melepaskan Diri Dari
Dunia? ”. Nampaknya inilah citra umum yang kita miliki. Mereka orang-orang
sufi memang mempunyai orientasi ke arah dunia yang lain. Nasr mengatakan bahwa
“oleh karena itu
ia ( Tasawuf ) serupa dengan nafas yang memberikan hidup. Tasawuf telah
memberikan semangat pada seluruh struktur islam, baik dalam perwujudan social
maupun intelektual[1].
Tasawuf secara umum merupakan falsafah hidup dan cara
tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan
moral, pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohaniah. [2]
Sedangakan moral sendiri adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya.
Sehingga hubungan tasawuf dengan moral adalah Agama
mengajarkan untuk selalu bersikap ramah terhadap sesama, saling berderma,
saling membantu sehingga terbentuk ikatan kohesivitas dan solidaritas sosial.
Dengan cara itu manusia akan biasa merengkuh pemahaman semesta ala mini secara mendalam.
Tasawuf lebih sekedar perbincangan moralitas. Jika
moralitas terpotret dari wujud tingkah laku manusia secara fisik, tasawuf
menekankan hakikat moralitas itu sendiri. Pada dimensi tasawuf sebuah moralitas
masih dipersoalkan: apakah mendasari pada ketulusan, keikhlasan, semata
mengharap kerelaan Tuhan atau justru sebaliknya. Dunia lahiriah mungkin cukup
dengan suatu tindakan konkret yang selaras dengan etika formal. Namun, dunia
batin adalah sebuah penjelajahan dan pelatihan yang harius terus – menerus
dilakukan tanpa henti, tanpa jeda dan terputus ( istiqamah ).
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang
dimaksud dengan tasawuf?
2.
Apa
pengertian dari moral?
3.
Bagaimana
hubungan antara tasawuf dan moral?
PEMBAHASAN
1. Pengertian dari tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah
kata atau istilah yang dihubung-hubungkan oleh para ahli untuk menyebutkan kata
Tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan
tasawuf , yaitu Al-Suffah (Ahl Al-Suffah), orang yang ikut pindah Nabi Dari
Mekkah Ke Madinah, Saf (Barisan), Sufi (Suci), Sophos (Bahasa Yunani:Hikmah),
Dan Suf ( Kain Wol ). [3]
Adapun arti dari kata Tasawuf itu
diambil dari kata Shafw yang artinya bersih; atau Shuffah yaitu suatu kamar di
samping masjid Nabawi yang disediakan bagi para sahabat Nabi saw yang miskin;
atau dari kata shaff yaitu barisan dalam shalat; atau berasal dari kata Yunani
yaitu theosophos ( theo artinya Tuhan, sophos artinya hikmat ) atau kata shuf yang
berarti bulu domba atau wol kasar yang dipakai oleh para ahli sufi sebagai
lambang kesederhanaan.[4]
Pengertian tasawuf dari segi istilah.
Tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia
dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasikesadaran berada dekat
dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad ( bersatu dengan Tuhan ). [5]
Menurut literature lain menyebutkan
bahwa tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak
yang mulia dan dekat dengan Allah SWT.[6]
Hamka menyebutkan definisi bahwa
tasawuf ialah membersihkan jiwa dari pengaruh benda-benda atau alam, supaya dia
mudah menuju kepada Allah.
Sedangkan menurut Abdul Qadir Jaelani
tasawuf yaitu suatu usaha yang sungguh – sungguh dengan jalan mengasingkan diri
sambil bertafakur, melepaskan diri dari segala yang bersifat duniawi dan
memusatkan diri hanya kepada Tuhan sehingga bersatu dengan-Nya.[7]
Tasawuf merupakan bagian dari ajaran
agama islam, karena ia membina akhlak umat manusia di bumi ini, agar tercapai
kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat.[8]
Jadi dapat disimpulkan bahwa tasawuf
adalah usaha dan upaya jiwa dengan sungguh-sungguh dengan jalan bertafakkur
mengasingkan diri dari segala yang bersifat duniawi, membersihkan jiwa dari
pengaruh alam atau benda, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan
Allah SWT.
2.
Pengertian
Moral
Dari segi bahasa moral berasal dari
bahasa Latin Mores yaitu jamak dari kata Mos yang berarti adat kebiasaan.[9]
Di dalam kamus Umum Bahasa Indonesia
dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik dan buruknya terhadap suatu
perbuatan dan kelakuan.[10]
Moral dalam istilah adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menemukan batas – batas dari sifat, perangai,
kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar,
salah, baik dan buruk.[11]
Moral adalah istilah yang digunakan
untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan)
baik atau buruk, benar atau salah.
Moral adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya.[12]
Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang itu bermoral, maka yang
dimaksudkan adalah orang tersebut tingkah lakunya baik.
Kata moral sering diidentikkan dengan
budi pekerti, adab, etika, tata karma, dan sopan santun. Istilah tersebut dalam
kosakata bahasa arab sering disebut dengan kata Akhlaq.
Dalam perkembangan selanjutnya
istilah moral sering pula didahului oleh kata kesadaran, sehingga menjadi
istilah kesadaran moral. Ahmad Charris Zubair dalam bukunya Kuliah Etika
mengatakan bahwa kesadaran moral merupakan fakta penting untuk memungkinkan
tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, dan perbuatannya selalu
sesuai dengan norma yang berlaku.
Al-Qur’an menyebut kata ini sebanyak dua kali yaitu dalam surat As-Syu’ara:137
Artinya:
137. (agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang
dahulu.
Dan di Surah Al-Qalam:4
+++++++++++++++
Kesadaran moral erat pula hubungannya
dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience dan dalam bahasa
arab disebut dengan qalb.
Kesadaran moral itu mencakup tiga hal.
1.
Perasaan
wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Perasaan ini telah
ada dalam setiap hati nurani manusia, siapapun, dimanapun dan kapanpun.
Kewajiban tersebut tidak dapat ditawar-tawar, karena sebagai kewajiban maka
andaikata dalam pelaksanaannya tidak
dipatuhi berarti suatu pelanggaran moral. Adanya perasaan wajib ini menunjukkan
bahwa suara batin harus selalu ditaati, karena suara batin justru sebagai
kesadaran bahwa seseorang merasa mempunyai beban atau kewajiban mutlak, untuk
melaksanakan sesuatu, tidak ada kekuatan apapun berhak mengganggu atau
menghalangi pelaksanaannya. Orang yang memiliki kesadaran moral dalam bentuk
perasaan wajib tersebut akan senantiasa mau berusaha menegakkan kebenaran,
kejujuran, keadilan, dan kesamaan walaupun tidak ada orang lain yang
menyuruhnya.
2.
Kesadaran
moral dapat juga terwujud rasional dan obyektif yaitu suatu perbuatan yang
secara umum dapat diterima oleh masyarakat. Sebagai hal yang obyektif dan dapat
diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap
waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis.
3.
Kesadaran
moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Atas kesadaran moralnya
seseorang bebas untuk mentaatinya. Bebas dalam menentukan perilakunya dan di
dalam penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.[13]
Apa yang disebut dengan adat istiadat ini sebenarnya
adalah bahan yang digunakan sebagai titik tolak penentuan baik dan buruk dalam
bidang moral.
Berdasarkan uraian tersebut kita
dapat sampai pada suatu kesimpulan bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai
atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai
atau system hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan
memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut
ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan.
Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging. Maka, dengan sendirinya orang
tersebut akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu
perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar. Orang yang demikian
pula adalah orang yang memilki kesadaran moral atau orang yang bermoral.
3.
Hubungan
antara Tasawuf dan Moral
Agama islam merupakan agama yang menyeru umatnya untuk
mencapai kemuliaan, ketinggian dan keagungan di antara bangsa-bangsa lain.[14]
Ini merupakan wujud konkret dari misi Nabi Muhammad SAW
“Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak yang luhur. Dan
semuanya sepakat dengan pentingnya etika dan moralitas ini. Ini merupakan
pranata fundamental dalam penataan masyarakat. Kondisi carut marut bangsa ini
dengan segudang masalah sosial, ekonomi, cultural, budaya, maupun agama
ternyata tak hanya bias dipahami secara teknik-mekanis. Aspek etika dan
moralitas ternyata perlu mendapat perhatian. Moralitas memegang kunci penting
dari segala hal, dari hulu ke hilir atau dari yang berskala besar hingga skala
yang dipandang remeh.
Manusia merupakan makhluk satu-satunya yang diberkati
Tuhan dengan potensi dan kemampuan untuk mengolah dan menata alam ini, tentu
dengan cara kreatif, produktif, konstruktif dan humanis. Dalam proses
pengelolaan alam diperlukan suatu tindakan moral yang mutlak baik, agar tidak
terjadi pembelokan dan justru perusakan yang menyengsarakan. Oleh karena itu,
sebagai makhluk yang tidak tinggal sendiri di dunia, manusia sudah semestinya
bertindak secara moral. Dalam segenap hubungan social, ekologis, cultural
maupun politik, moralitas adalah sesuatu yang niscaya. Tanpa tatanan moral
dapat dibayangkan hubungan – hubungan tersebut akan porak-poranda. Kehidupan
manusia tidak akan nyaman. Dalam bahasa Al-Qur’an ,manusia yang mengabaikan
standar moral ini akan mudah terjerumus ke dalam tindakan yang destruktif .
Dalam konteks moral, kehadiran agama telah memberikan
petunjuk praktis dalam kerangka penyempurnaan moralitas manusia. Dalam diri
manusia terkandung potensi berbuat baik dan buruk. Agama tidak menyangkal bahwa
manusia dengan akalnya sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk.
Agama mengajarkan untuk selalu bersikap ramah terhadap
sesama, saling berderma, saling membantu sehingga terbentuk ikatan kohesivitas
dan solidaritas sosial. Dengan cara itu manusia akan bias merengkuh pemahaman
semesta alamini secara mendalam.
Tasawuf memiliki ajaran yang sangat relevan dengan
perjuangan moral, seperti sabar[15],
ikhlas[16]
dan istiqamah. [17]
Tasawuf lebih sekedar perbincangan moralitas. Jika
moralitas terpotret dari wujud tingkah laku manusia secara fisik, tasawuf
menekankan hakikat moralitas itu sendiri. Pada dimensi tasawuf sebuah moralitas
masih dipersoalkan: apakah mendasari pada ketulusan, keikhlasan, semata
mengharap kerelaan Tuhan atau justru sebaliknya. Dunia lahiriah mungkin cukup
dengan suatu tindakan konkret yang selaras dengan etika formal. Namun, dunia
batin adalah sebuah penjelajahan dan pelatihan yang harus terus – menerus
dilakukan tanpa henti, tanpa jeda dan terputus ( istiqamah ).[18]
Pembedaan antara perbuatan lahiriah dan semesta batin
memang sangat lembut dan halus. Dunia lahiriah mungkin saja mudah ditangkap
karena memang tampak oleh mata. Akan tetapi, siapa sangka bahwa dunia batin
begitu menyemesta, mendalam, berliku dan penuh rahasia.
Agama melihat manusia pada dimensi tubuh dan jiwa. Oleh
karena itu, agama merumuskan tatanan, aturan, serta petunjuk yang bersifat
komprehensif dan holistik bagi tubuh dan jiwa itu. Penataan agama secara
lahiriah dan batiniah menunjukkan agama sebagai perangkat hakiki bagi manusia
untuk memahami kediriannya. Artinya manusia punya keharusan untuk berdisiplin
sekaligus menyadari bahwa jiwanya secara mutlak membutuhkan keharusan yang
berkaitan dengan keilahian yang pas dengannya.
Tasawuf adalah suatu “ Revolusi Spiritual ”. Tasawuf
akan selalu memperbarui dan menyemai kekosongan jiwa manusia. Kelimpahruahan
materi yang mewarnai kehidupan dunia ini dianggap bukanlah sesuatu yang
penting. Sebaliknya, kelimpahruahan hatilah yang menopangnya.
Untuk memulai ikhtiar, dituntut sikap Muhasabah. Upaya
ini akan melahirkan ketahanan diri serta terhindar dari kemungkinan pelencengan
kepribadian. Hasilnya adalah sikap rendah hati, tidak arogan dan selalu
memandang dirinya bersahaja ketika melakukan suatu tindakan, betapapun baiknya.
Ikhtiar lainnya adalah Mu’atabah. Dengan demikian,
seseorang tidak mudah menyalahkan orang lain. Dengan cara ini, seseorang akan
terhindar dari sikap merasa selalu benar atau mudah menghakimi. Kesadaran yang
muncul adalah bahwa dirinya bersifat relative yang mutlak hanyalah Allah.
Kemudian, Muraqabah( Upaya atau penyikapan untuk senantiasa
berprasangka baik kepada Allah ), ini terjadi karena seseorang selalu melihat dan menyadari
kelemahan dirinya. Apa yang kita perbuat demi suatu pencapaian tertentu akan
selalu digantingkan kepada Allah. Sedangkan ikhtiar yang dilakukan semaksimal
mungkin apapun disadari sebagai kemampuan manusiawi yang ada batasnya.
Penggunaan tasawuf mengatasi sejumlah masalah moral
sehingga sufisme diperlukan untuk terlibat dalam berbagai peran dalam
menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai
spiritual, memperkenalkan literature atau pemahaman tentang aspek kebatinan
islam, baik terhadap masyarakat islam yang melupakannya maupun non islam,
memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek kebatinan islam yakni
sufisme adalah jantung ajaran islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak
berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran islam.
Tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin
dan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi pekerti yang tajam itu akan
menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap
masalah yang dihadapi. Dengan demikian ia akan punya moral yang baik dan
terhindar dari perbuatan – perbuatan yang tercela menurut agama.
KESIMPULAN
Adapun arti dari kata tasawuf itu
diambil dari kata shafw yang artinya bersih; atau shuffah yaitu suatu kamar di
samping masjid Nabawi yang disediakan bagi para sahabat Nabi saw yang miskin;
atau dari kata shaff yaitu barisan dalam shalat; atau berasal dari kata Yunani
yaitu theosophos (theo artinya Tuhan, sophos artinya hikmat) atau kata shuf
yang berarti bulu domba atau wol kasar yang dipakai oleh para ahli sufi sebagai
lambang kesederhanaan.
Moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menemukan batas –
batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak
dapat dikatakan benar, salah, baik dan buruk
Penggunaan tasawuf mengatasi sejumlah masalah moral
sehingga sufisme diperlukan untuk terlibat dalam berbagai peran dalam
menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai
spiritual, memperkenalkan literature atau pemahaman tentang aspek kebatinan
islam, baik terhadap masyarakat islam yang melupakannya maupun non islam,
memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek kebatinan islam yakni
sufisme adalah jantung ajaran islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak
berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran islam.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini
disusun dengan harapan bermanfaat bagi khalayak banyak. Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya sehingga makalah ini
dapat terselesaikan. Demi
kesempurnaan makalah selanjutnya, saran dan kritik yang konstruktif sangat kami
harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
AS, Asmaran. Pengantar Studi
Akhlak. Jakarta: Rajawali Pers. 1992
AS, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 1994
Djaelani, Abdul Qadir. Kritik
Terhadap Ajaran Tasawuf. Jkarta:Gema Insani Press. 1996
Hamka. Tasauf Murni dan
Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1980
Hamka. Tasauf Modern. Jakarta:
PT. Citra Serumpun Padi. 1995
http://layanangananet.blogspot.com/2011/01/pengertian-moral.html
Kartapradja, Kamil. Aliran
Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta. 1985
Nasr, Sayyid Husein. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Penerjemah
Abdul Hadi WM. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1991
Nasution, Harun. Falsafat dan
Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1991
Siroj, Said Aqil. Tasawuf sebagai
Kritik Sosial. Bandung: Mizan Pustaka.
2006
Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999
Tebba, Sudirman. Tasawuf Positiv.
Bogor: Kencana. 2003
Zubair, Achmad Charris. Kuliah
Etika. Jakarta: Rajawali Pers. 1980
[1] Sayyid Husein Nasr. Tasawuf
Dulu dan Sekarang. Penerjemah Abdul Hadi WM. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1991.
hal.11
[2] Asmaran AS. Pengantar
Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1994. hal 36
[3] Harun Nasution. Falsafat
dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.1992. Cet.III. hal 56-57.
[4] Hamka. Tasauf Murni dan
Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1980. hal 80-81
[5] Kamil Kartapradja. Aliran
Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta. 1985. hal 38
[6] Abuddin Nata. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000. 180-181.
[7] Abdul Qadir Djaelani. Kritik
Terhadap Ajaran Tasawuf. Jakarta: Gema Insani Press. 1996. hal 15
[8] Amin Syukur. Menggugat
Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999. hal 18
[9] Asmaran AS. Pengantar
Studi Akhlak. Jakarta: Rajawali Pers. 1992. hal 8
[10] W.J.S Poerwadarminta. Kamus
Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1991. cet.XII. hal 654
[11] Abuddin Nata. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000. hal 90
[12]
http://layanangananet.blogspot.com/2011/01/pengertian-moral.html
[13] Achmad Charris Zubair. Kuliah
Etika. Jakarta: Rajawali Pers. 1980. cet II. Hal 13
[14] Hamka. Tasauf Modern.
Jakarta: PT. Citra Serumpun Padi. 1995. hal 4
[15] Menahan diri dari keluh
kesah dalam menjalankan urusan duniawi dan ukhrawi.
[16] Yakni mengerjakan suatu
perbuatan semata-mata untuk menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan bukan
karena pamrih.
[17] Sudirman Tebba. Tasawuf
Positiv. Bogor: Kencana. 2003. hal 131-132
[18] Said Aqil Siroj. Tasawuf
sebagai Kritik Sosial. Bandung: Mizan Pustaka. 2006. hal 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar