Rabu, 07 Mei 2014

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN MORAL



HUBUNGAN TASAWUF DENGAN MORAL

Disusun Oleh : Yunisa Afiani



PENDAHULUAN
Berbicara tentang tasawuf sering timbul pertanyaan, benarkah bahwa hidup secara sufi berarti “ Melepaskan Diri Dari Dunia? ”. Nampaknya inilah citra umum yang kita miliki. Mereka orang-orang sufi memang mempunyai orientasi ke arah dunia yang lain. Nasr mengatakan bahwa “oleh karena itu ia ( Tasawuf ) serupa dengan nafas yang memberikan hidup. Tasawuf telah memberikan semangat pada seluruh struktur islam, baik dalam perwujudan social maupun intelektual[1]. 
Tasawuf secara umum merupakan falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohaniah. [2]
Sedangakan moral sendiri adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Sehingga hubungan tasawuf dengan moral adalah Agama mengajarkan untuk selalu bersikap ramah terhadap sesama, saling berderma, saling membantu sehingga terbentuk ikatan kohesivitas dan solidaritas sosial. Dengan cara itu manusia akan biasa merengkuh pemahaman semesta ala mini secara mendalam.
Tasawuf lebih sekedar perbincangan moralitas. Jika moralitas terpotret dari wujud tingkah laku manusia secara fisik, tasawuf menekankan hakikat moralitas itu sendiri. Pada dimensi tasawuf sebuah moralitas masih dipersoalkan: apakah mendasari pada ketulusan, keikhlasan, semata mengharap kerelaan Tuhan atau justru sebaliknya. Dunia lahiriah mungkin cukup dengan suatu tindakan konkret yang selaras dengan etika formal. Namun, dunia batin adalah sebuah penjelajahan dan pelatihan yang harius terus – menerus dilakukan tanpa henti, tanpa jeda dan terputus ( istiqamah ).
RUMUSAN MASALAH
1.                                          Apa yang dimaksud dengan tasawuf?
2.                                          Apa pengertian dari moral?
3.                                          Bagaimana hubungan antara tasawuf dan moral?









PEMBAHASAN
1.  Pengertian dari tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan oleh para ahli untuk menyebutkan kata Tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf , yaitu Al-Suffah (Ahl Al-Suffah), orang yang ikut pindah Nabi Dari Mekkah Ke Madinah, Saf (Barisan), Sufi (Suci), Sophos (Bahasa Yunani:Hikmah), Dan Suf ( Kain Wol ). [3]
Adapun arti dari kata Tasawuf itu diambil dari kata Shafw yang artinya bersih; atau Shuffah yaitu suatu kamar di samping masjid Nabawi yang disediakan bagi para sahabat Nabi saw yang miskin; atau dari kata shaff yaitu barisan dalam shalat; atau berasal dari kata Yunani yaitu theosophos ( theo artinya Tuhan, sophos artinya hikmat ) atau kata shuf yang berarti bulu domba atau wol kasar yang dipakai oleh para ahli sufi sebagai lambang kesederhanaan.[4]
Pengertian tasawuf dari segi istilah. Tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasikesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad ( bersatu dengan Tuhan ). [5]
Menurut literature lain menyebutkan bahwa tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT.[6]
Hamka menyebutkan definisi bahwa tasawuf ialah membersihkan jiwa dari pengaruh benda-benda atau alam, supaya dia mudah menuju kepada Allah.
Sedangkan menurut Abdul Qadir Jaelani tasawuf yaitu suatu usaha yang sungguh – sungguh dengan jalan mengasingkan diri sambil bertafakur, melepaskan diri dari segala yang bersifat duniawi dan memusatkan diri hanya kepada Tuhan sehingga bersatu dengan-Nya.[7]
Tasawuf merupakan bagian dari ajaran agama islam, karena ia membina akhlak umat manusia di bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat.[8]
Jadi dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah usaha dan upaya jiwa dengan sungguh-sungguh dengan jalan bertafakkur mengasingkan diri dari segala yang bersifat duniawi, membersihkan jiwa dari pengaruh alam atau benda, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT.
2.      Pengertian Moral
Dari segi bahasa moral berasal dari bahasa Latin Mores yaitu jamak dari kata Mos yang berarti adat kebiasaan.[9]
Di dalam kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik dan buruknya terhadap suatu perbuatan dan kelakuan.[10]
Moral dalam istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menemukan batas – batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik dan buruk.[11]
Moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.[12] Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang itu bermoral, maka yang dimaksudkan adalah orang tersebut tingkah lakunya baik.
Kata moral sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata karma, dan sopan santun. Istilah tersebut dalam kosakata bahasa arab sering disebut dengan kata Akhlaq.
Dalam perkembangan selanjutnya istilah moral sering pula didahului oleh kata kesadaran, sehingga menjadi istilah kesadaran moral. Ahmad Charris Zubair dalam bukunya Kuliah Etika mengatakan bahwa kesadaran moral merupakan fakta penting untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, dan perbuatannya selalu sesuai dengan norma yang berlaku.
Al-Qur’an menyebut kata ini sebanyak dua kali yaitu dalam surat As-Syu’ara:137
Artinya:
137. (agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu.

Dan di Surah Al-Qalam:4
+++++++++++++++
Kesadaran moral erat pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience dan dalam bahasa arab disebut dengan qalb.
Kesadaran moral itu mencakup tiga hal.
1.      Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Perasaan ini telah ada dalam setiap hati nurani manusia, siapapun, dimanapun dan kapanpun. Kewajiban tersebut tidak dapat ditawar-tawar, karena sebagai kewajiban maka andaikata  dalam pelaksanaannya tidak dipatuhi berarti suatu pelanggaran moral. Adanya perasaan wajib ini menunjukkan bahwa suara batin harus selalu ditaati, karena suara batin justru sebagai kesadaran bahwa seseorang merasa mempunyai beban atau kewajiban mutlak, untuk melaksanakan sesuatu, tidak ada kekuatan apapun berhak mengganggu atau menghalangi pelaksanaannya. Orang yang memiliki kesadaran moral dalam bentuk perasaan wajib tersebut akan senantiasa mau berusaha menegakkan kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kesamaan walaupun tidak ada orang lain yang menyuruhnya.
2.      Kesadaran moral dapat juga terwujud rasional dan obyektif yaitu suatu perbuatan yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat. Sebagai hal yang obyektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis.
3.      Kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Atas kesadaran moralnya seseorang bebas untuk mentaatinya. Bebas dalam menentukan perilakunya dan di dalam penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.[13]
Apa yang disebut dengan adat istiadat ini sebenarnya adalah bahan yang digunakan sebagai titik tolak penentuan baik dan buruk dalam bidang moral.
Berdasarkan uraian tersebut kita dapat sampai pada suatu kesimpulan bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau system hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging. Maka, dengan sendirinya orang tersebut akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian  akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar. Orang yang demikian pula adalah orang yang memilki kesadaran moral atau orang yang bermoral.

3.      Hubungan antara Tasawuf dan Moral
Agama islam merupakan agama yang menyeru umatnya untuk mencapai kemuliaan, ketinggian dan keagungan di antara bangsa-bangsa lain.[14]
Ini merupakan wujud konkret dari misi Nabi Muhammad SAW “Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak yang luhur. Dan semuanya sepakat dengan pentingnya etika dan moralitas ini. Ini merupakan pranata fundamental dalam penataan masyarakat. Kondisi carut marut bangsa ini dengan segudang masalah sosial, ekonomi, cultural, budaya, maupun agama ternyata tak hanya bias dipahami secara teknik-mekanis. Aspek etika dan moralitas ternyata perlu mendapat perhatian. Moralitas memegang kunci penting dari segala hal, dari hulu ke hilir atau dari yang berskala besar hingga skala yang dipandang remeh.
Manusia merupakan makhluk satu-satunya yang diberkati Tuhan dengan potensi dan kemampuan untuk mengolah dan menata alam ini, tentu dengan cara kreatif, produktif, konstruktif dan humanis. Dalam proses pengelolaan alam diperlukan suatu tindakan moral yang mutlak baik, agar tidak terjadi pembelokan dan justru perusakan yang menyengsarakan. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang tidak tinggal sendiri di dunia, manusia sudah semestinya bertindak secara moral. Dalam segenap hubungan social, ekologis, cultural maupun politik, moralitas adalah sesuatu yang niscaya. Tanpa tatanan moral dapat dibayangkan hubungan – hubungan tersebut akan porak-poranda. Kehidupan manusia tidak akan nyaman. Dalam bahasa Al-Qur’an ,manusia yang mengabaikan standar moral ini akan mudah terjerumus ke dalam tindakan yang destruktif .
Dalam konteks moral, kehadiran agama telah memberikan petunjuk praktis dalam kerangka penyempurnaan moralitas manusia. Dalam diri manusia terkandung potensi berbuat baik dan buruk. Agama tidak menyangkal bahwa manusia dengan akalnya sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Agama mengajarkan untuk selalu bersikap ramah terhadap sesama, saling berderma, saling membantu sehingga terbentuk ikatan kohesivitas dan solidaritas sosial. Dengan cara itu manusia akan bias merengkuh pemahaman semesta alamini secara mendalam.
Tasawuf memiliki ajaran yang sangat relevan dengan perjuangan moral, seperti sabar[15], ikhlas[16] dan istiqamah. [17]
Tasawuf lebih sekedar perbincangan moralitas. Jika moralitas terpotret dari wujud tingkah laku manusia secara fisik, tasawuf menekankan hakikat moralitas itu sendiri. Pada dimensi tasawuf sebuah moralitas masih dipersoalkan: apakah mendasari pada ketulusan, keikhlasan, semata mengharap kerelaan Tuhan atau justru sebaliknya. Dunia lahiriah mungkin cukup dengan suatu tindakan konkret yang selaras dengan etika formal. Namun, dunia batin adalah sebuah penjelajahan dan pelatihan yang harus terus – menerus dilakukan tanpa henti, tanpa jeda dan terputus ( istiqamah ).[18]
Pembedaan antara perbuatan lahiriah dan semesta batin memang sangat lembut dan halus. Dunia lahiriah mungkin saja mudah ditangkap karena memang tampak oleh mata. Akan tetapi, siapa sangka bahwa dunia batin begitu menyemesta, mendalam, berliku dan penuh rahasia.
Agama melihat manusia pada dimensi tubuh dan jiwa. Oleh karena itu, agama merumuskan tatanan, aturan, serta petunjuk yang bersifat komprehensif dan holistik bagi tubuh dan jiwa itu. Penataan agama secara lahiriah dan batiniah menunjukkan agama sebagai perangkat hakiki bagi manusia untuk memahami kediriannya. Artinya manusia punya keharusan untuk berdisiplin sekaligus menyadari bahwa jiwanya secara mutlak membutuhkan keharusan yang berkaitan dengan keilahian yang pas dengannya.
Tasawuf adalah suatu “ Revolusi Spiritual ”. Tasawuf akan selalu memperbarui dan menyemai kekosongan jiwa manusia. Kelimpahruahan materi yang mewarnai kehidupan dunia ini dianggap bukanlah sesuatu yang penting. Sebaliknya, kelimpahruahan hatilah yang menopangnya.
Untuk memulai ikhtiar, dituntut sikap Muhasabah. Upaya ini akan melahirkan ketahanan diri serta terhindar dari kemungkinan pelencengan kepribadian. Hasilnya adalah sikap rendah hati, tidak arogan dan selalu memandang dirinya bersahaja ketika melakukan suatu tindakan, betapapun baiknya.
Ikhtiar lainnya adalah Mu’atabah. Dengan demikian, seseorang tidak mudah menyalahkan orang lain. Dengan cara ini, seseorang akan terhindar dari sikap merasa selalu benar atau mudah menghakimi. Kesadaran yang muncul adalah bahwa dirinya bersifat relative yang mutlak hanyalah Allah.
Kemudian, Muraqabah( Upaya atau penyikapan untuk senantiasa berprasangka baik kepada Allah ), ini terjadi karena seseorang selalu melihat dan menyadari kelemahan dirinya. Apa yang kita perbuat demi suatu pencapaian tertentu akan selalu digantingkan kepada Allah. Sedangkan ikhtiar yang dilakukan semaksimal mungkin apapun disadari sebagai kemampuan manusiawi yang ada batasnya.
Penggunaan tasawuf mengatasi sejumlah masalah moral sehingga sufisme diperlukan untuk terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual, memperkenalkan literature atau pemahaman tentang aspek kebatinan islam, baik terhadap masyarakat islam yang melupakannya maupun non islam, memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek kebatinan islam yakni sufisme adalah jantung ajaran islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran islam.
Tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi pekerti yang tajam itu akan menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan demikian ia akan punya moral yang baik dan terhindar dari perbuatan – perbuatan yang tercela menurut agama.

 KESIMPULAN
Adapun arti dari kata tasawuf itu diambil dari kata shafw yang artinya bersih; atau shuffah yaitu suatu kamar di samping masjid Nabawi yang disediakan bagi para sahabat Nabi saw yang miskin; atau dari kata shaff yaitu barisan dalam shalat; atau berasal dari kata Yunani yaitu theosophos (theo artinya Tuhan, sophos artinya hikmat) atau kata shuf yang berarti bulu domba atau wol kasar yang dipakai oleh para ahli sufi sebagai lambang kesederhanaan.
Moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menemukan batas – batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik dan buruk
Penggunaan tasawuf mengatasi sejumlah masalah moral sehingga sufisme diperlukan untuk terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual, memperkenalkan literature atau pemahaman tentang aspek kebatinan islam, baik terhadap masyarakat islam yang melupakannya maupun non islam, memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek kebatinan islam yakni sufisme adalah jantung ajaran islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran islam.
 PENUTUP
Demikianlah makalah ini disusun dengan harapan bermanfaat bagi khalayak banyak. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Demi kesempurnaan makalah selanjutnya, saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA

AS, Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Rajawali Pers. 1992
AS, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1994                                                                        
Djaelani, Abdul Qadir. Kritik Terhadap Ajaran Tasawuf. Jkarta:Gema Insani Press. 1996
Hamka. Tasauf Murni dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1980
Hamka. Tasauf Modern. Jakarta: PT. Citra Serumpun Padi. 1995
http://layanangananet.blogspot.com/2011/01/pengertian-moral.html
Kartapradja, Kamil. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta. 1985
Nasr, Sayyid Husein. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Penerjemah Abdul Hadi WM. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1991
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1991
Siroj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial. Bandung: Mizan Pustaka.  2006
Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999
Tebba, Sudirman. Tasawuf Positiv. Bogor: Kencana. 2003
Zubair, Achmad Charris. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers. 1980


[1] Sayyid Husein Nasr. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Penerjemah Abdul Hadi WM. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1991. hal.11
[2] Asmaran AS. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1994. hal 36
[3] Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.1992.  Cet.III. hal 56-57.
[4] Hamka. Tasauf Murni dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1980. hal 80-81
[5] Kamil Kartapradja. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta. 1985. hal 38
[6] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000. 180-181.
[7] Abdul Qadir Djaelani. Kritik Terhadap Ajaran Tasawuf. Jakarta: Gema Insani Press. 1996. hal 15
[8] Amin Syukur. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999. hal 18
[9] Asmaran AS. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Rajawali Pers. 1992. hal 8
[10] W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1991. cet.XII. hal 654
[11] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000. hal 90
[12] http://layanangananet.blogspot.com/2011/01/pengertian-moral.html
[13] Achmad Charris Zubair. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers. 1980. cet II. Hal 13
[14] Hamka. Tasauf Modern. Jakarta: PT. Citra Serumpun Padi. 1995. hal 4
[15] Menahan diri dari keluh kesah dalam menjalankan urusan duniawi dan ukhrawi.
[16] Yakni mengerjakan suatu perbuatan semata-mata untuk menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan bukan karena pamrih.
[17] Sudirman Tebba. Tasawuf Positiv. Bogor: Kencana. 2003. hal 131-132
[18] Said Aqil Siroj. Tasawuf sebagai Kritik Sosial. Bandung: Mizan Pustaka.  2006. hal 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar